MAAF BLOG INI DALAM MASA PERBAIKAN | TERIMAKASIH

Thursday, February 14, 2008

Lelang Syariah

Pola penyelesaian eksekusi Marhun (BJ) yang telah jatuh tempo dan akhirnya tidak ditebus di Pegadaian Syariah yang sebelumya menggunakan Pola Penjualan (bukan lelang) berdasarkan pemahaman dari bunyi hadits : ”Janganlah menawar sesuatu yang sudah ditawar orang lain dan jangan meminang pinangan orang lain”(HR, Bukhari dan Muslim). Ternyata masih mambuka celah kontroversi, dan berdasarkan hasil pertemuan dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) maka pola tersebut harus diganti dengan pola Lelang Syariah yang merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 25/DSN-MUI/III/2002 bagian Kedua Butir 5 :

a) Apabila telah jatuh tempo, Murtahin (Pegadaian Syariah) harus memperingatkan Rahin (nasabah) untuk segera melunasi hutangnya.
b) Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka Marhun dijual paksa / dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c) Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang , biaya pemeliharaan dan penyimpanan (Jasa simpan-pen) yang belum dibayar serta biaya penjualan (Bea Lelang Pembeli, Bea Lelang Penjual dan Dana Sosial- pen ).
d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin
Adapun praktik penawaran barang di atas penawaran orang lain – sebagaimana dilarang oleh Nabi S.A.W. dalam hadits di atas – tidak dapad dikategorikan dalam jual-beli lelang ini sebagaimana dikemukakan oleh Az-Zaila’i dalam Tabyin Al-Haqaiq(IV/67).
Lebih jelasnya, praktik penawaran sesuatu yang sudah ditawar orang lain dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori:
Pertama, bila terdapat pernyataan eksplisit dari penjual persetujuan harga dari salah satu penawar, maka tidak diperkenankan bagi orang lain untuk menawarnya tanpa seijin penawar yang disetujui tawarannya.
Kedua: bila tidak ada indikasi persetujuan maupun penolakan tawaran dari penjual,maka tidak ada larangan syariat bagi orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan tawaran pertama. Kasus ini dianalogikan dari hadist Fathimah binti Qais ketika melaporkan kepada Nabi, bahwa Mu’awiyah dan Abu Jahm telah meminangnya, maka karena tidak ada indikasi persetujuan darinya terhadap pinangan tersebut, beliu menawarkan padanya untuk menikah dengan Usamah bin zaid.
Ketiga: bila ada indikasi persetujuan dari penjual terhadap suatu penawaran meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, maka menurut Ibnu Qudamah tetap tidak diperkenankan untuk ditawar orang lain.
Pengertian Lelang (auction)
“Secara Umum Lelang adalah penjualan barang yang dilakukan di muka umum termasuk melalui media elektronik dengan cara penawaran lisan dengan harga yang semakin meningkat atau harga yang semakin menurun dan atau dengan penawaran harga secara tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan para peminat”. (Kep. Men. Keu RI. No.337/KMK.01/2000 Bab.I, Ps.1).
Lebih jelasnya lelang menurut pengertian diatas adalah suatu bentuk penjualan barang didepan umum kepada penawar tertinggi. Lelang dapat berupa penawaran barang tertentu kepada penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah, kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi, sebagaimana lelang ala Belanda (Dutch Auction) dan disebut (lelang naik) yang biasa dilakukan di Pegadaian Konvensional.. Lelang seperti ini yang masih menjadi perdebatan apakah sesuai syariah atau tidak, karena ada indikasi persetujuan pada penawar pertama yang menyetujui tawaran penjual (Lihat katagori ketiga klasifikasi diatas)
Disamping itu lelang dapat juga berupa penawaran barang, yang pada mulanya membuka lelang dengan harga tinggi, kemudian semakin turun sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan tawaran tertinggi yang disepakati penjual, dan biasanya ditandai dengan ketukan (disebut lelang turun). Lelang seperti ini yang disepakati sudah sesuai syariah . dan selanjutnya dijadikan pola lelang di Pegadaian Syariah. Harga penawaran pertama (harga tinggi) disebut sebagai Harga Penawaran Lelang (HPL) : Bisa berupa Harga Pasar Pusat (HPP), Harga Pasar Daerah (HPD) dan Harga Pasar Setempat (HPS) dengan memperhitungkan kualitas / kondisi barang, daya tarik (model dan kekhasan) serta animo pembeli pada marhun lelang tersebut pada saat lelang. Lelang seperti ini dipakai pula dalam praktik penjualan saham dibursa efek, yakni penjual dapat menawarkan harga yang diinginkan, tetapi jika tidak ada pembeli, penjual dapat menurunkan harganya sampai terjadi kesepakatan .
Pasar lelang (action market) sendiri didefinisikan sebagai suatu pasar terorganisir, dimana harga menyesuaikan diri terus menerus terhadap penawaran dan permintaan, serta biasanya dengan barang dagangan standar, jumlah penjual dan pembeli cukup besar dan tidak saling mengenal. Menurut ketentuan yang berlaku di pasar tersebut, pelaksanaan lelang dapat menggunakan persyaratan tertentu seperti sipenjual dapat menolak tawaran yang dianggapnya terlalu rendah yaitu dengan memakai batas harga terendah/cadangan (reservation price), di Pegadaian Konvensional kita sebut sebagai Harga Limit Lelang (HLL) : bisa berupa Nilai Pasar Lelang (NPL) atau Nilai Minimum Lelang (NML). Tujuannya untuk mencegah adanya trik-trik kotor berupa komplotan lelang (auction ring) dan komplotan penawar (bidder’s ring) yaitu sekelompok pembeli dalam lelang yang bersekongkol untuk menawar dengan harga rendah, dan jika berhasil kemudian dilelang sendiri diantara mereka. Penawaran curang seperti itu disebut penawaran cincai (collusive bidding). Pembatasan harga terendah juga dilakukan untuk mencegah permainan curang antara Penjual Lelang (Kuasa Penjual) dan Pembeli yang akan merugikan pemilik barang / nasabah.
Pada prinsipnya, Syariah Islam membolehkan jual-beli barang yang halal dengan cara lelang yang dalam fiqih disebut sebagai akad Bai’ Muzayadah. (Ibnu Juzzi, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, 290, majduddin Ibnu Taimiyah, Muntaqal Akhbar,V/101) .
Praktek lelang ( Muzayadah) dalam bentuknya yang sederhana pernah dilakukan oleh Nabi SAW, ketika didatangi oleh seorang sahabat dari kalangan Anshar meminta sedekah kepadanya. Lalu Nabi bertanya: “Apakah dirumahmu ada suatu barang?“ Sahabat tadi menjawab bahwa ia memiliki sebuah hiis (kain usang) yang dipakai sebagai selimut sekaligus alas dan sebuah qi’b (cangkir besar dari kayu) yang dipakai minum air. Lalu Beliau menyuruhnya mengambil kedua barang tersebut. Ketika ia Menyerahkannya kepada Nabi, Beliau mengambilnya lalu menawarkannya: “Siapakah yang berminat membeli kedua barang ini?” Lalu seseorang menawar keduanya dengan harga satu Dirham. Maka Beliau mulai meningkatkan penawarannya: “Siapakah yang mau menambahkannya lagi dengan satu Dirham ?” lalu berkatalah penawar lain:”Saya membelinya dengan harga dua Dirham” Kemudian Nabi menyerahkan barang tersebut kepadanya dan memberikan dua Dirham hasil lelang kepada sahabat Anshar tadi.(HR, Abu Dawud, An-Nasai’ dan Ibnu Majah).
Ibnu Qudamah, Ibnu Abdil Bar dan lainnya meriwayatkan adanya Ijma’(kesepakatan) ulama tentang bolehnya jual-beli secara lelang bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku dipasar umat Islam pada masa lalu. Sebagaimana Umar Bin Khathab juga pernah melakukannya, demikian pula karena umat membutuhkan praktik lelang sebagai salah satu cara dalam jual-beli. (Al-Muqhni, VI/307, Ibnu Hazm, Al-Muhalla, IX/468). Pendapat ini dianut seluruh mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali serta Dzahiri. Meskipun demikian, ada pula sebagian kecil ulama yang keberatan seperti An-Nakha’i, dan Al-Auza’i. (Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid,II/165, Asy-Syaukani,Nailul Authar, V/191).
Namun untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma dan etika dalam praktik lelang, Syariat Islam memberikan panduan dan kriteria umum sebagai pedoman pokok yaitu diantaranya:
1. Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela (‘an taradhin).
2. Objek lelang harus halal dan bermanfaat.
3. Kepemilikan / Kuasa Penuh pada barang yang dijual
4. Kejelasan dan transparansi barang yang dilelang tanpa adanya manipulasi
5. Kesanggupan penyerahan barang dari penjual,
6. Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan perselisihan.
7. Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memenangkan tawaran.
Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak sah dalam praktik lelang dikategorikan para ulama dalam praktik najasy (komplotan/trik kotor lelang), yang diharamkan Nabi SAW (HR, Bukhari dan Muslim), atau juga dapat dimasukkan dalam kategori Risywah (sogok) bila penjual atau pembeli menggunakan uang, fasilitas ataupun servis untuk memenangkan lelang yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria yang dikehendaki.

Komentar :

ada 0 Coment ke “Lelang Syariah”