Sejarah, Kontroversi dan Serba-Serbinya Sejarah Valentine’s Day
Dari namanya saja, perayaan Hari Kasih Sayang ini serasa memiliki perpaduan sebuah tradisi yang bernuansa Kristiani dan Roma kuno. Ada beberapa versi mengenai legenda dari sosok Valentine ini. Dahulu, seorang pemimpin agama Katolik bernama Valentine bersama rekannya Santo Marius secara diam-diam menentang pemerintahan Kaisar Claudius II kala itu. Pasalnya, kaisar tersebut menganggap bahwa seorang pemuda yang belum berkeluarga akan lebih baik performanya ketika berperang. Ia melarang para pemuda untuk menikah demi menciptakan prajurit perang yang potensial. Nah, Valentine tidak setuju dengan peraturan tersebut. Ia secara diam-diam tetap menikahkan setiap pasangan muda yang berniat untuk mengikat janji dalam sebuah perkawinan. Hal ini dilakukannya secara rahasia. Lambat laun, aksi yang dilakukan oleh Valentine pun tercium oleh Claudius II. Valentine harus menanggung perbuatannya. Ia dijatuhi hukuman mati. Ada sebuah sumber yang menceritakan bahwa ia mati karena menolong orang-orang Kristen melarikan diri dari penjara akibat penganiayaan. Dalam legenda ini, Valentine didapati jatuh hati kepada anak gadis seorang sipir, penjaga penjara. Gadis yang dikasihinya senantiasa setia untuk menjenguk Valentine di penjara kala itu. Tragisnya, sebelum ajal tiba bagi Valentine, ia meninggalkan pesan dalam sebuah surat untuknya. Ada tiga buah kata yang tertulis sebagai tanda tangannya di akhir surat dan menjadi populer hingga saat ini—-‘From Your Valentine.’ Ekspresi dari perwujudan cinta Valentine terhadap gadis yag dicintainya itu masih terus digunakan oleh orang-orang masa kini. Akhirnya, sekitar 200 tahun sesudah itu, Paus Gelasius meresmikan tanggal 14 Febuari tahun 496 sesudah Masehi sebagai hari untuk memperingati Santo Valentine.
Industri “Kasih Sayang”
Pada sebuah website, disebutkan ada testamen yang ditulis Saint Valentine sesaat sebelum dihukum mati oleh Kaisar Claudius II di Roma, 14 Februari 269 M. Inti testamen itu adalah “cinta tak bisa dimatikan”: meski orangnya sudah mati. Kendati ada beberapa versi mengenai sejarah Hari Valentine, keteguhan hati Sang Santo dalam memberi kasih-sayang kepada sesama –dengan risiko dihukum mati– menjadi acuan paling pas untuk momentum Hari Kasih Sayang. Bisa dipahami jika peringatan atas kematian Saint Valentine ini semula lebih merupakan ritus keagamaan. Tetapi sejak abad ke-16, aspek religiositasnya memudar. Apa pasal? Hari Velentine kemudian dihubungkan pula dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi Kuno (disebut Lupercalia) yang jatuh pada tanggal 15 Februari. Pada pesta itu, para pemuda desa selalu berkumpul pada medio Februari. Mereka menuliskan nama-nama gadis di desanya, dan meletakkannya ke dalam sebuah kotak. Setiap pemuda mengambil salah satu nama dari kotak tersebut. Maka, gadis yang namanya terpilih itu akan menjadi kekasihnya sepanjang tahun. Pemuda itu pun mengirim sebuah kartu yang bertuliskan “Dengan nama Tuhan Ibu, saya kirimkan kepadamu kartu ini.” Para pemuka Nasrani pada zaman-zaman itu mengalami kesulitan untuk mengubah tradisi tersebut. Akhirnya, diputuskan mengganti kalimat “Dengan nama Tuhan Ibu” menjadi “Dengan nama Pendeta Valentine”, sehingga dapat mengikat para pemuda dengan ajaran Nasrani. Catatan itu bisa menjadi sangat menarik ketika dalam perkembangannya, apa yang dilakukan para pemuda desa itu pun seolah-olah jadi acuan dalam perayaan Valentine, terutama di kalangan anak muda. Selain saling mengucapkan “Selamat Hari Valentine, mereka juga berkirim kartu dan bunga, saling curhat. Ucapan sayang dan cinta tumpah-ruah ketika itu. Terkadang muncul pula tradisi deviatif berupa pertukaran pasangan. Ada juga opini bahwa Hari Valentine menjadi momentum paling afdol untuk mencari pasangan. Pesta perayaan, baik massal maupun sekadar berduaan dengan pasangannya, digelar. Tidak heran apabila Valentine sering pula disebut hari milik anak muda dengan segala atribut perayaannya.
Kontroversi
Tetapi, tidak bisa dimungkiri, perayaan Hari Valentine masih memunculkan kontroversi di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Satu pihak dengan teguh menganggap Valentine bagus dirayakan dengan pemaknaan Hari Kasing Sayang. Pihak yang menentang menyebutnya sebagai bagian kebudayaan Barat, yang sama sekali tak sesuai dengan adat ketimuran. Dari kalangan agama, khususnya Islam, muncul pula reaksi serupa. Sebagian menyebut Valentine tak pas dirayakan umat Islam, karena latar belakang historisnya yang lebih dekat ke kebudayaan Kristiani. Bahkan, orang Islam yang tidak sepakat menyebut perayaan Hari Valentine sebagai bid’ah, karena tidak ada dasar hukumnya dalam syariat Islam. Bahkan, sebagian kalangan Kristiani pun ada yang tak sepakat dengan perayaan Valentine. Mereka menilai perayaan itu bukanlah ritus keagamaan, tapi aktivitas tradisi yang merujuk penyembahan berhala sebelum zaman Kristen. Yang jadi rujukan mereka adalah tradisi Pra-Kristen di Romawi yang memuja dua berhala: Nimrod dan Lupercalia. Kontroversi itu masih terus terjadi, bahkan sampai sekarang. Tapi, haruskah kita terjebak pada perdebatan sesuatu yang kontoversial? “Peringatan apa pun, yang terbaik adalah menangkap esensi atau pesan dari peringatan itu sendiri. Kita agaknya lebih suka melihat sesuatu dari aspek seremonialnya tanpa menangkap esensi yang ada. Kalau itu dilakukan, sudah pasti ada perbenturan budaya yang melahirkan kontroversi yang sama sekali tak bermanfaat. Itu juga berlaku untuk Valentine,” ujar Drs H Mohammad Adnan MA. Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng itu menambahkan, apabila Valentine dimaknai sebagai Hari Kasih sayang, itu mengandung pesan agar di hari-hari selanjutnya kita bisa memberikan kasih-sayang pada sesama secara lebih baik. “Apalagi saya tak melihat itu bagian dari agama. Maksudnya, bukan ritus keagamaan. Jadi tangkap saja makna esensialnya.”
Jadi Tradisi
Ada dan tidaknya kontroversi, kenyataannya banyak yang sangat yakin untuk merayakannya. Bahkan, ada pula yang menganggapnya “wajib” dirayakan. “Apa salahnya merayakan kalau itu dapat lebih mengikatkan perasaan dengan pasangan kita,” cetus Venny, gadis berusia 22 tahun. Dia sendiri tak secara khusus membikin acara dengan pacarnya untuk perayaan Valentine tahun ini. “Paling pergi berdua. Tapi yang pasti, kami akan saling memberi kado. Sudah jadi tradisi kami, sih,” ujarnya kenes. Dengan alasan itu pula, gadis manis itu tak memedulikan anggapan yang menyebut dirinya hanya “ikutan-ikutan” cara anak muda Barat. “Biar saja dianggap begitu”. Memberikan sesuatu kepada pasangannya pada Hari Valentine, kata Tony (25), dianggap lebih bermakna. Ada getaran emosional yang lebih. Perasaan seperti ini hanya dialaminya setiap kali ia memberikan kado di hari ulang tahun kekasihnya. Tahun ini merupakan kali ketiga bagi Tony merayakan Valentine bersama sang pacar. Dia mengaku telah menyiapkan kado khusus. Dan, seperti dua perayaan sebelumnya, Tony berencana mencari tempat khusus untuk berduaan. Sebagaimana Venny, Tony pun tak peduli soal kontroversi perayaan Hari Valentine. “Mau disebut kebarat-baratan, ya silakan saja. Yang penting aku dan pacarku menganggap Valentine merupakan momentum yang bagus,” tandasnya.
Industri
Yang pasti pula, di luar kontroversi, perayaan Valentine tak pelak bergerak sebagai pangsa industri yang menjanjikan. Aktivitas pemberian hadiah pada hari spesial itu sudah pasti merangsang pihak industri untuk menyediakan beragam pernik. Apabila pergi ke supermarket atau ke toko khusus gift (pernik hadiah) menjelang 14 Februari, Anda akan menyaksikan beragam barang ditawarkan. Simbol “hati” menjadi sesuatu yang dominan pada segala benda yang terpajang. Sebut saja gerai-gerai khusus gift di Mal Ciputra. Beragam pernik tengara Hari Valentine terpajang meriah di gerai Pipiland, Kid’s Parcel, dan Hallmark. Bantal, gelas, frame, dan berbagai benda lain dikuasai gambar atau bentuk hati. Bahkan, tiap gerai secara khusus membuat parcel dalam ukuran besar atau kecil, tetap dengan simbol hati. “Secara khusus kami memang bikin parcel khas Valentine. Bantal dan frame foto paling banyak diminati,” ujar Nadia, salah seorang pramuniaga di Pipiland. Boleh jadi, itu memberi bukti bahwa perayaan Valentine mengajak industri merangsang konsumerisme, terutama bagi kawula muda. Apa pendapat pengamat ekonomi mengenai hal itu? “Valentine kini memang bergerak menjadi gaya hidup global, gaya konsumerisme internasional. Kasih sayang yang semula menjadi maknanya, bergerak menjadi bagian dari proses industrial,” ujar pengamat ekonomi dari Undip, FX Sugiyanto SE. Ketua Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi (LSKE) FE Undip itu mengkhawatirkan perayaan Valentine bisa bergerak sebagai perangsang konsumerisme secara berlebihan. “Konsumerisme internasional dengan produk-produknya sudah pasti akan mengancam produk lokal. Kalau dilihat lebih seksama, maka Valentine itu ekstremnya merupakan rekayasa pasar kapitalistis. Saya pikir, hal itu yang patut kita pikirkan bersama,” kritiknya. Bagaimana komentar Anda? Disadur dari:http://checep05.wordpress.com
Komentar :
Post a Comment