Apa hubungannya Da Vinci dengan H.C. Anderson? Tidak ada! Apa hubungannya hoax dengan coat? Juga tidak ada. Tetapi saya akan mengada-adakannya di sini. Namun sebelum itu, saya akan mencoba mencari arti kata hoax dengan Thesaurus dulu. Ternyata dia memberi kita 10 kata lain untuk hoax yakni: trick, pratical joke, joke, swindle, ruse, prank, fraud, deception, con trick, put-up job. Sekalian belajar bahasa Inggris nich! Kesepuluh kata persamaan ini mungkin dapat diterjemahkan secara bebas menjadi “omong kosong”. Kalau saya benar, bahwa hoax adalah omong kosong, maka spanduk dan pamflet di atas dapat diterjemahkan menjadi: “Seminar untuk membahas sebuah omong kosong yang berjudul Da Vinci Code”. Lha...kok ya ada orang mau buang-buang waktu berjam-jam membahas sebuah omong kosong.
Nyatanya memang ada! Mari simak dongeng H.C. Andersen dulu deh. Syahdan, hiduplah seorang kaisar yang sangat suka mengenakan jubah baru. Para penenun kain, perancang busana dan tukang jahit terbaik seluruh negeri bahkan juga dari negeri jiran didatangkan untuk membuatkan jubah baru. Jumlahnya nggak kira-kira, 365 jubah setiap tahun. Ya, memang Kaisar ingin mengenakan jubah baru setiap hari sih!
Kedua penipu itu memang hanya bekerja di malam hari saja. Dan mulailah kedua penipu itu beraksi. Mereka berpura-pura sedang melakukan kegiatan menenun tanpa menyangkutkan selembar benangpun. Orang-orang yang mengawasi kelakuan mereka menjadi heran. “Ape sih nyang loe berdue kerjain? Cuman muter-muter kagak kelihatan selembar benang gitu?” Tanya orang-orang keheranan.
“Hah?! Itulah keistimewaan tenunan kami. Orang pandir dan orang yang tidak memiliki hati yang jujur tidak akan bisa melihat kain yang kami tenun. Hanya orang yang bijaksana dan jujur saja yang bisa melihatnya.” Demikian jawab kedua penipu itu setiap kali ada yang bertanya.
Cerita tentang kedua penenun dan kain tenunannya yang ajaib (tidak kasat mata) segera tersebar luas. Setiap orang yang mencoba membuktikan kalau dirinya bisa melihat kain yang sedang ditenun dengan giat oleh kedua penenun itu, menemukan kenyataan bahwa mereka tidak melihat apa-apa. Namun karena takut dibilang pandir atau tidak jujur, semua orang yang datang melihat mengaku dapat melihat keindahan kain yang sedang ditenun. Mereka meninggalkan tempat tenunan sambil memuji-muji keindahan kain yang sedang dikerjakan kedua penipu tersebut.
Suatu hari Kaisar mengutus Perdana Menterinya yang terkenal sangat pandai dan bijaksana itu untuk memeriksa hasil pekerjaan kedua penipu itu. Sang Perdana Menteri pun pergi melaksanakan tugasnya. Tiba di tempat di mana alat tenun itu ditempatnya, didapatinya kedua penipu itu sedang giat bekerja. Gerak-gerik keduanya sih seolah-olah sedang tekun menenun. “Gimana kerjaan loe orang?” Tanya Perdana Menteri.
Kedua penipu itu pura-pura terkejut dan buru-buru memberi hormat. “Kami hampir merampungkan pekerjaan kami. Seperti yang Tuan bisa saksikan sendiri, selembar kain sutera bersulam emas yang sangat indah. Ini, silakan Tuan periksa.” Kata salah satu penipu itu sambil seolah-olah mengangsurkan sesuatu kepada Perdana Menteri.
“Hm...” Perdana Menteri berpikir keras. Walaupun sadar tidak ada apa-apa di atas alat tenun, tetapi ia tidak ingin dikatakan pandir karena hanya orang bijaksana dan jujur saja yang dapat melihat keindahan kain tenunan ajaib tersebut. Akhirnya Perdana Menteri pun ikut berpura-pura bisa melihat dan dia berdecap-decap kagum. Setelah itu Perdana Menteri melapor kepada Kaisar bahwa kedua penenun dari negeri asing itu hampir selesai menenun selembar kain sutera berhiaskan benang-benang emas yang indah.
Selanjutnya Kaisar ingin menguji “kejujuran” menteri keuangannya yang terkenal sangat jujur. Lalu Menteri Keuangan itu dikirim ke tempat kedua penenun. Seperti halnya PM, Menkeu juga melihat kedua penenun itu sedang tekun bekerja. Gerak-gerik mereka seolah-olah sedang menenun namun tidak terlihat selembar benangpun pada tangan mereka ataupun pada alat tenun besar di hadapannya. “Bagaimana kemajuan pekerjaan kalian?” Tanya Menkeu.
“Ah, Tuan Menteri, terima kasih telah menyediakan uang untuk membeli benang sutera dan benang emas. Inilah hasil tenunan kami. Sangat luar biasa indah bukan?” Menkeu terdiam. Jika ia berterus-terang bahwa ia tidak melihat apapun pada alat tenunan itu, ia khawatir reputasinya sebagai orang paling jujur di seantero negeri akan hancur. Bukankah semua orang telah mengetahui hanya yang bijaksana dan jujur saja yang dapat melihat kain ajaib ini? “Ah...luar biasa indah!” Akhirnya Menkeu pun berpura-pura mengagumi.
Mendengar laporan kedua menterinya yang bijaksana dan jujur itu, Kaisar sangat gembira. Akhirnya dia menyuruh kedua penenun itu untuk membuatkan jubah dari kain tenunan mereka. Jubah tersebut akan dipakainya pada sebuah festival yang akan berlangsung 7 hari lagi.
Ketika hari perayaan akhirnya tiba, Kaisar memerintahkan agar jubah barunya diantarkan ke istananya. Kedua penipu itu pun datang. Di atas tangan seolah-olah mereka membawa sebuah jubah dengan hati-hati. Tentu saja Kaisar tidak melihat apa-apa, namun ia pun tidak hendak dikatakan pandir dan tidak jujur, maka ia memuji-muji keindahan jubah buatan kedua penipu itu.
“Sekarang bukalah jubah lama Paduka Baginda, dan biarkan kami mengenakan kepada Baginda jubah indah ini.” Kaisar pun menanggalkan pakaiannya dan kedua penipu itu seolah-olah mengenakan jubah ke atas tubuhnya. “Bagaimana? Bukankah Baginda terlihat sangat gagah dengan jubah yang indah ini? Ah...tentu saja hanya yang bijaksana dan yang jujur saja yang dapat melihat keindahan jubah baru Baginda.” Kata salah satu penipu itu.
Semua yang hadir tidak ingin dikatakan tidak bijaksana ataupun tidak jujur semuanya mengakui dan pura-pura mengagumi keindahan jubah Kaisar. Akhirnya Kaisarpun melangkah ke balairung dengan hanya mengenakan pakaian dalamnya saja di mana semua orang yang mengikuti festival telah berkumpul menantikan kehadirannya. Seluruh isi negeri yang tidak ingin dikatakan tidak bijaksana dan tidak jujur mengelu-elukan Kaisarnya yang hampir telanjang dan pura-pura memuji-muji keindahan jubahnya.
Tetapi seorang bocah berumur 4 tahunan tiba-tiba maju ke depan sambil berteriak-teriak: “Kaisar nggak pake baju, Kaisar nggak pake baju!” Semua yang hadir terkesima, tidak ada seorang pun berani bersuara ataupun bergerak menanti reaksi sang Kaisar.
Menarik bukan dongeng di atas? Namun begitulah dahsyatnya sebuah opini yang sudah dipercayai sebagai kebenaran oleh orang banyak. Ketidakbenaran menjadi kebenaran dan sebaliknya. Lalu kembali lagi kepada pertanyaan di atas apa hubungannya dongeng ini dengan Da Vinci Code-nya Don Brown?
Saya kebetulan sudah membawa buku ini dalam edisi bahasa Inggrisnya jauh sebelum buku-buku seperti “Break The Da Vinci Code” diterbitkan. Apakah Don Brown pernah mengakui bahwa karyanya adalah kisah nyata? Tidak sekalipun. Saya kira setiap orang yang membaca buku ini sadar bahwa ini adalah karya fiktif. Harus saya akui dia sangat sangat piawai merangkai fakta-fakta menjadi cerita fiksi yang menarik. Apakah Don Brown berbohong?
Menurut saya ya. Karya fiksi adalah kebohongan atau dengan kata lain adalah hasil perpaduan antara fakta dan imajinasi. Jika Anda tidak bisa mengubah suatu fakta dan mengembangkannya menjadi cerita fiktif yang menarik Anda bukanlah seorang penulis fiksi. Brown mengubah sebuah “fakta” yaitu “kepercayaan” umum umat Kristiani, bahwa cawan yang dipergunakan Yesus Kristus pada malam perjamuan terakhir itu memang ada. Namun Brown mengimajinasikan bahwa sebenarnya yang dimaksud dengan “cawan suci” atau “holy gail” bukanlah sebuah cawan, namun seorang perempuan yang menampung darah bangsawan Yesus.
Hal ini membuat gerah para rohaniawan dan ahli agama dan mereka terpanggil untuk membuat pernyataan bahwa cawang suci “the holy gail” benar-benar ada. Yang mana yang benar? Alkitab ataukah Da Vinci Code? Menurut saya sungguh bodoh memperdebatkan hal ini. Alkitab benar karena kita mengimaninya. Lalu jika kita beriman cukup kuat, buat apa kita harus mempersoalkan apa yang ditulis Don Brown?
Mengapa kita tidak berani melihat suatu hal secara jujur? Karena kita takut dikatakan “beda”. Seperti halnya orang-orang di negeri antah-berantah khayalan H.C. Anderson di atas, mereka ingin disebut “yang bijaksana” dan atau “yang jujur” karena itu mereka takut mengatakan hal yang sebenarnya bijak dan jujur.
Hanya kanak-kanaklah yang benar-benar jujur dan tidak berambisi dipuja-puji yang dapat mengatakan hal yang sebenarnya. Kalau kita sadar, di dunia ini banyak hal yang kita tahu sebagai fakta sebenarnya adalah sebuah kesepakatan. Tidak jarang kita terpaksa ikut-ikutan menerima sebuah kesepakatan entah karena kita berada pada posisi minoritas, entah kita sendiri tidak memiliki sanubari yang benar-benar bersih untuk melihat sebuah kebenaran.
Komentar :
Post a Comment